SR Uncategorized ChatGPT Dituntut karena Asbun: Tuduh Pria Tak Bersalah Sebagai Pembunuh

ChatGPT Dituntut karena Asbun: Tuduh Pria Tak Bersalah Sebagai Pembunuh

ChatGPT Dituntut karena Asbun: Tuduh Pria Tak Bersalah Sebagai Pembunuh post thumbnail image

Washington, D.C. – Teknologi kecerdasan buatan kembali menjadi sorotan tajam. Kali ini, OpenAI, perusahaan di balik chatbot populer ChatGPT, menghadapi gugatan hukum setelah sistem AI tersebut diduga menyebarkan fitnah serius dengan menuding seorang pria yang tidak bersalah sebagai pelaku pembunuhan dalam respons percakapan dengan pengguna.

Insiden ini menimbulkan perdebatan luas soal batas tanggung jawab pengembang kecerdasan buatan terhadap informasi keliru yang dihasilkan sistem mereka, serta risiko penyebaran disinformasi melalui platform berbasis AI.


Fitnah Tak Berdasar dari Jawaban AI

Kasus ini bermula ketika seorang jurnalis asal Georgia, Amerika Serikat, menguji coba ChatGPT dalam rangka penulisan laporan investigatif. Dalam simulasi percakapan, chatbot tersebut secara spontan menyebut Mark Walters, seorang aktivis hak kepemilikan senjata api, sebagai “tersangka utama” dalam kasus pembunuhan imajiner yang sebenarnya tidak pernah terjadi.

Yang menjadi masalah, nama Walters digunakan dalam konteks nyata — lengkap dengan afiliasi politik dan latar belakang pribadinya — meskipun tidak ada catatan hukum, tuduhan, atau berita resmi yang mengaitkannya dengan kejahatan apa pun.

Tak lama setelah kutipan tersebut beredar secara internal dalam forum jurnalisme, Walters melayangkan gugatan terhadap OpenAI dengan tuduhan pencemaran nama baik dan kelalaian produk.


Gugatan: “AI Bukan Tameng dari Tanggung Jawab Hukum”

Dalam berkas tuntutan yang diajukan ke pengadilan distrik Atlanta, pihak Walters menyebut bahwa kesalahan fatal ini menunjukkan ketidakmampuan OpenAI mengontrol narasi yang dihasilkan teknologinya. Tim kuasa hukum menyatakan bahwa meskipun AI bekerja secara probabilistik, produk ini tetap harus tunduk pada prinsip dasar hukum: kebenaran, kehati-hatian, dan pertanggungjawaban.

“ChatGPT mengarang tuduhan pidana yang sangat serius terhadap klien kami, tanpa dasar, tanpa sumber, dan tanpa konteks. Ini bukan kesalahan teknis biasa, ini potensi penghancuran reputasi oleh sistem yang dianggap ‘cerdas’,” kata kuasa hukum Walters dalam konferensi pers.


Tanggapan OpenAI: “Kami Sedang Menelusuri”

Menanggapi kasus ini, pihak OpenAI mengatakan tengah melakukan penyelidikan internal. Dalam pernyataan resminya, perusahaan menegaskan bahwa ChatGPT adalah alat bantu berbasis model bahasa besar (large language model) yang tidak memiliki pemahaman faktual atau maksud jahat.

“Kami menyesalkan jika respons model kami digunakan atau disalahartikan sedemikian rupa hingga merugikan individu. Kami berkomitmen untuk meningkatkan akurasi dan transparansi dalam teknologi kami,” demikian pernyataan singkat OpenAI.

Namun, hingga kini belum ada permintaan maaf langsung kepada Walters, dan belum diketahui apakah perusahaan akan menawarkan penyelesaian di luar pengadilan.


Pakar Hukum Teknologi: “Preseden Penting untuk Dunia AI”

Pengamat hukum siber dari Stanford Law School, Prof. Linda McIntyre, menyebut kasus ini bisa menjadi preseden penting yang menentukan batas legalitas dan tanggung jawab atas konten yang dihasilkan oleh AI.

“Selama ini, produsen platform digital sering berlindung di balik klausul bahwa konten dihasilkan oleh pengguna. Tapi AI tidak persis pengguna—ia adalah fitur produk. Maka, jika terjadi kesalahan, perusahaan bisa diminta bertanggung jawab sebagai pembuat,” jelasnya.


Dampak Lebih Luas: Sorotan pada AI dan Etika Informasi

Kasus ini membuka babak baru dalam diskusi global mengenai etika AI, terutama terkait keakuratan, pengawasan, dan dampak sosial dari informasi yang disampaikan secara otomatis oleh sistem seperti ChatGPT.

Kekhawatiran kini mengarah pada kemungkinan bahwa fitnah digital dapat tersebar secara instan, tanpa filter, dan tanpa kejelasan tanggung jawab—situasi yang dapat mengancam integritas informasi publik dan keselamatan individu.


Penutup

Ketika teknologi semakin pintar, tuntutan terhadap akurasi dan etika juga semakin tinggi. Kasus Mark Walters melawan ChatGPT bisa menjadi momen penentu apakah dunia hukum siap mengimbangi laju inovasi—atau justru tertinggal dalam menghadapi era kecerdasan buatan yang tak kenal batas.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post